KUHP Baru Menerapkan Tanggung Jawab Pidana ‘Korporasi’: Langkah Bagi Perusahaan untuk Memitigasi Risiko
By Adrian Fernando / 28 April 2023

Poin Penting
- Korporasi masuk sebagai subjek hukum dalam pertanggungjawaban pidana.
- Ancaman pidana yang dapat dikenakan kepada suatu korporasi adalah (i) pidana pokok berupa denda, dan (ii) pidana tambahan berupa ganti kerugian, pencabutan izin, pembekuan kegiatan usaha dan, pembubaran usaha.
- Ketiadaan langkah pencegahan dan kepatuhan terhadap ketentuan hukum, dianggap sebagai tindakan pembiaran dan indikasi suatu tindak pidana oleh korporasi.
- Perusahaan perlu membuat dan menjalankan kode etik, program kepatuhan, pelatihan, audit secara reguler dan platform pengaduan internal sebagai langkah pencegahan penyimpangan hukum di dalam perusahaan.
Latar Belakang
Akan tetapi, perlu dicatat bahwa KUHP Baru tersebut berlaku efektif dengan syarat bahwa (i) peraturan pelaksanaan dari KUHP Baru telah ditetapkan paling lama dua tahun sejak tanggal diundangkan, atau pada tanggal 1 Januari 2025, dan (ii) KUHP berlaku efektif 3 tahun sejak tanggal diundangkan, atau pada tanggal 1 Januari 2026.
Salah satu substansi penting dari KUHP Baru ini adalah mengenai ‘pertanggungjawaban korporasi’. Meski bukan hal yang benar-benar baru karena sebelumnya telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016, namun dengan dimasukkannya pengaturan secara rinci mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam KUHP Baru, maka hal tersebut semakin memperkokoh langkah dari penegak hukum dalam melakukan upaya hukum dalam meminta pertanggungjawaban pidana dari suatu korporasi.
Kriteria 'Korporasi'
KUHP Baru mendefinisikan ‘korporasi’ secara luas, yakni meliputi:
badan hukum (perseroan terbatas, yayasan, koperasi, badan usaha milik negara/daerah);
perkumpulan, baik yang berbadan hukum maupun tidak;
badan usaha (firma, persekutuan komanditer).
Sedangkan, kriteria terhadap pengurus korporasi adalah sebagai berikut:
memiliki kedudukan fungsional dalam struktur organisasi, atau dalam hubungan kerja atau hubungan lain. ‘Kedudukan fungsional’ diartikan sebagai seseorang, baik sebagai subjek utama maupun subjek penyertaan, yang memiliki kewenangan untuk (i) mewakili, (ii) mengambil keputusan, dan (iii) menerapkan pengawasan terhadap korporasi;
bertindak untuk dan atas nama atau untuk kepentingan korporasi;
dalam usaha atau kegiatan korporasi, baik yang dilakukan sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
Sebagai perluasan dari kriteria ‘pengurus’ di atas, tindak pidana korporasi juga dapat dilakukan oleh pembina, pengendali, atau pemilik manfaat korporasi yang berada di luar struktur organisasi, namun tetap dapat mengendalikan korporasi tersebut.
Kriteria ‘Tindak Pidana oleh Korporasi’
Tidak semua tindakan dari korporasi dapat dikenakan pertanggungjawaban. KUHP Baru telah memberikan batasan-batasan terhadap suatu tindakan dari korporasi yang dapat dipidana, apabila terbukti sebagai berikut:
termasuk dalam lingkup atau kegiatan usaha;
menguntungkan korporasi secara melawan hukum;
diterima sebagai kebijakan korporasi;
korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum; dan/atau
korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana.
Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dapat dikenakan kepada:
korporasi;
pengurus yang memiliki kedudukan fungsional;
pemberi perintah;
pemegang kendali, dan/atau
pemilik manfaat korporasi.
Khusus terhadap korporasi, pertanggungjawaban pidana yang dapat diberikan adalah:
pidana pokok, berupa denda Kategori IV sampai dengan Kategori VIII, dengan nilai denda mulai dari Rp200.000.000,- sampai dengan Rp50.000.000.000,-; dan
pidana tambahan, mulai dari ganti kerugian, pencabutan izin, pembekuan kegiatan usaha, sampai dengan pembubaran, dan lainnya.
Apabila ternyata korporasi tersebut tidak melaksanakan pidana denda sebagaimana diputuskan oleh Pengadilan, maka Kejaksaan berwenang untuk melakukan penyitaan terhadap aset milik korporasi untuk dilakukan lelang guna melunasi pidana denda dimaksud.
Selain pertanggungjawaban pidana, KUHP Baru juga mengatur mengenai tindakan lain yang dapat dikenakan bagi korporasi, yakni berupa pengambilalihan, penempatan di bawah pengawasan, dan penempatan di bawah pengampuan, yang kemudian akan diatur lebih lanjut dalam suatu peraturan pemerintah.
Langkah untuk Memitigasi Risiko
Adanya ketentuan pertanggungjawaban korporasi ini memberikan pemahaman yang jelas bagi perusahaan agar membuat langkah-langkah proaktif untuk mencegah adanya tindak pidana di dalam perusahaan, dan terhindar dari risiko pertanggungjawaban pidana dalam hal terjadinya suatu tindak pidana di dalam perusahaan.
Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan oleh perusahaan. Pertama, membuat kode etik yang mengatur standar etika dan perilaku dari karyawan untuk mencegah penyimpangan hukum. Kedua, membuat program kepatuhan, dimana divisi kepatuhan dalam perusahaan memastikan bahwa kegiatan operasional dalam perusahaan tetap patuh pada ketentuan hukum. Ketiga, melakukan pelatihan secara teratur kepada karyawan mengenai etika, perilaku, kepatuhan hukum dan tanggung jawab korporasi. Keempat, melakukan audit internal secara teratur untuk memastikan setiap pihak dalam perusahaan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan. Kelima, membuat platform pengaduan internal sebagai langkah pencegahan penyimpangan hukum di dalam perusahaan.